Warno, 36, petani asal Dusun Pasah, Desa Senden, Kecamatan Selo,
mengawali ceritanya kepada Solopos.com, Jumat (23/9/2016) sore. Kemarin
dia sedang dikarantina di salah satu hotel di Solo karena hari ini,
Sabtu (24/9/2016), dia akan mendapatkan penghargaan dari Gubernur
Jateng, Ganjar Pranowo.Dia mendapatkan juara I Pelayan Pangan untuk
Adikarya Pangan Nusantara.
“Saya sebenarnya tidak punya cita-cita
menjadi petani. Tetapi jika dibandingkan bekerja di perusahaan yang
harus ikut aturan orang lain, menjadi petani banyak enaknya. Yang jelas,
kami bisa mengatur diri sendiri dan menciptakan kemandirian ekonomi
sendiri,”ujar Warno.
Bertani sudah dilakoninya sejak kecil.
Sepulang sekolah waktu SD dulu, dia selalu beraktivitas dengan sabit,
keranjang, cangkul, dan beternak kambing.
“Kemudian pergi ke lahan bersama orang tua. Begitu seterusnya sampai saya bisa kuliah jurusan pertanian di Jember,” kata Warno.
Dengan
gelar sarjananya dia menjadi tenaga kontrak penyuluh pertanian di BPP
Kecamatan Selo. Namun, sejatinya dia adalah petani. Dia memproduksi
sayur-sayuran organik bahkan pernah menembus pasar ekspor. Sayangnya,
ekspor buncis kini terhenti karena dia menemui kendala pembayaran dari
eksportir asal Singapura itu.
“Dulu perjanjiannya pembayaran per
pekan, tapi tahun kemarin selalu terlambat bisa sampai sebulan atau satu
setengah bulan, akhirnya kami tidak lagi ekspor tapi main di pasar
dalam negeri,” kata dia yang saat ini sedang membudidaya brokoli dan
seledri pada lahan seluas 3.000 meter miliknya.
Budidaya sayuran
kebanyakan dia kelola dan garap sendiri, kecuali saat pengolahan
tanah.“Kalau urusan mencangkul, saya cari tenaga.”
Budidaya
hortikultura dia pilih bukan hanya karena wilayah Selo sangat cocok
untuk komoditas itu. Baginya, hortikultura adalah budidaya pangan yang
penuh tantangan, menarik, dan punya banyak seni yang bisa dikreasikan,
baik seni budidayanya maupun pascapanennya. “Beda dengan tanam padi itu
sangat monoton.”
Berkreasi
Dia mencontohkan
budidaya tomat. Untuk menginginkan angka produktivitas tertentu, petani
bisa berkreasi dengan berbagai macam perlakuan. “Kalau mau hasilnya
banyak, ada perlakuan-perlakuan khusus yang jadi tantangan.”
Untuk
pascapanen, petani juga harus berkreasi dengan kemasan. Kebetulan,
Warno juga membina Kelompok Tani Argo Ayuningtani. Kelompok tani itu
tidak mendistribusikan produknya secara konvensional namun dengan
kemasan agar bisa masuk ke pasar modern. Kebetulan produk sayurannya
semuanya organik dan sudah tersertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi
Organik Seloliman (LeSOS).
“Yang paling banyak produk sayuran kami
masuk ke pabrik makanan, sepekan sekali kami kirim ke pabrik. Jadi
nilai jualnya lebih menjanjikan dari pada hanya diangkut ke pasar.”
Kelompok
tani ini punya keinginan maju. Bagaimana tidak? Sebanyak 26 anggota
kelompok taninya adalah generasi muda. Rata-rata mereka berusia 35
tahun. “Paling tua usia 40 tahun. Mereka memang sudah yakin bahwa
pertanian adalah masa depan mereka. Bagi saya pertanian masih cukup
menjanjikan hal ini bisa dilihat 90% universitas di Indonesia masih
membuka jurusan pertanian,” ujar dia yang juga pernah menjadi THL
terbaik tingkat Jawa Tengah.
Tidak hanya Warno. Kendati sering
berada di tengah ketidakpastian hasil, Mujianto, 38, warga RT 001/RW
003, Desa Samiran, Kecamatan Selo,juga tetap setia dengan budidaya
sayuran.
Di lahan seluas 2.000 meter persegi, dia menanam beragam
jenis sayuran seperti cabai, kubis, brokoli, dan tomat. Selain
pertanian, Mujianto juga beternak sapi. “Dari bertani dan beternak sapi,
alhamdulillah menjadi sumber penghasilan utama keluarga kami,” kata
Mujianto.
Dia pernah mencoba bekerja di luar sektor pertanian,
merantau ke ibu kota dan mencari nafkah di sana. “Hanya satu tahun, saya
tidak betah. Akhirnya saya pulang dan kembali menjadi petani tradisi
melanjutkan apa yang sudah dikerjakan bapak saya selama ini,” ujar dia.
Mujianto
adalah salah satu petani muda asal lereng Merapi. Dia adalah petani
tradisi yang tetap bertani tanpa mengurangi upaya penyelematan
lingkungan. Dia dikenal aktif mengembangkan inovasi khususnya inovasi
pascapanen. Pascapanen biasanya menjadi momok bagi petani. Dia pernah
menjajaki kerja sama dengan rumah sakit swasta di Solo dan pasar modern
agar bisa memasok produk sayuran. Namun, dia menemui kendala. “Ya
beginilah pertanian, sulit untuk menjaga kontinuitas.”
Dia pun
berupaya berinovasi dengan memangkas rantai distribusi. Dia menjajaki
kerja sama langsung dengan pedagang hasil bumi di ibu kota. “Seperti
cabai, saya kirim langsung ke Jakarta. Jika melalui rantai distribusi
yang panjang harga cabai di Jakarta bisa mencapai Rp40.000/kg, kalau
distribusi bisa dipangkas harga cabai mungkin hanya Rp30.000/kg. Bagi
petani ini lebih menguntungkan karena produksinya menjadi cepat laku.”
Di
tengah potensi yang ada, dia mencoba mengembangkan agrosilfopastural
yakni pertanian terpadu yang memadukan pertanian itu sendiri dengan
peternakan dan perkebunan. “Dari tiga sektor itu harus ada mata rantai.
Saya kembangkan biogas dari kotoran ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan
pupuk,” ujar dia yang sempat aktif di Asosiasi Petani Tembakau
Indonesia (APTI) Boyolali.
Saat ini, dia bersama Kelompok Tani
Sumber Makmur mulai mengarah untuk mengembangkan agrowisata. Dia membuat
video profil yang bisa digunakan untuk mempromosikan potensi wisata
pertanian di wilayah Desa Samiran.
Kebetulan, 60% anggota Kelompok
Tani Sumber Makmur adalah generasi muda yang harapannya menjadi petani
visioner sehingga agrowisata di Desa Samiran lebih berkembang.
Sumber: Solopos
Related Posts: